Sunday, October 25, 2009

Kekuatan Sertifikat*

Yusnita Achmad, S.Pd.

Seorang narasumber bercerita kepada saya ketika beliau mengisi acara dalam satu kegiatan di Balai Bahasa Provinsi Kalimantan Barat. Beliau bertanya kepada peserta tentang tujuan mengikuti kegiatan tersebut, mayoritas jawabannya adalah ingin mendapatkan sertifikat. Walaupun tujuan lain seperti mendapat ilmu dan memperluas jaring pertemanan. Saya percaya jawaban tersebut akan diamini oleh seluruh pegawai fungsional di seluruh instansi pemerintah di Indonesia.
Apa sebenarnya kekuatan yang terkandung dalam sertifikat? Mengapa secarik kertas dapat dinamakan sertifikat? Apakah setiap tanda bukti disebut sertifikat? Jika ditelaah dari sudut pandang bahasa, kata sertifikat mempunyai arti tanda atau surat keterangan (pernyataan) tertulis atau tercetak dari orang yang berwenang yang dapat digunakan sebagai bukti pemilikan atau suatu kejadian. Pihak yang mengeluarkan sertifikat merupakan pihak yang berwenang seperti instansi pemerintah maupun swasta. Sertifikat berbentuk surat secara tertulis sehingga dapat dijadikan bukti fisik atas suatu kejadian yang abstrak. Oleh karena ada bukti fisik, legalitas suatu pernyataan tidak dapat dipungkiri.
Sertifikat juga dapat menembus ruang dan waktu. Suatu kejadian yang terjadi di masa lampau dapat didokumentasikan dalam sertifikat, contohnya sertifikat kelahiran. Menurut KBBI, sertifikat kelahiran adalah surat bukti kelahiran yang dikeluarkan oleh instansi yang berwenang. Rakyat biasa sampai orang nomor satu di Indonesia pasti mempunyai sertifikat kelahiran. Selain sertifikat kelahiran, ada juga sertifikat tanah yakni surat bukti pemilikan tanah yang dikeluarkan oleh instansi yang berwenang. Seseorang yang mempunyai sertifikat atas kepemilikan tanah akan kuat posisinya di mata hukum, jika ia terjebak dalam kasus sengketa tanah.
Kekuatan sertifikat, sebenarnya tanpa disadari telah terjadi dari zaman dahulu, misalnya pada saat mempertimbangkan data pelamar kerja. Seorang manajer personalia akan lebih mempertimbangkan pelamar yang melampirkan lembaran sertifikat sebagai jaminan bahwa si pelamar terbukti mempunyai kemampuan yang diperlukan.
Berkaitan dengan pegawai fungsional, berikut adalah contoh sertifikat-sertifikat penting karena dikeluarkan oleh instansi-instansi berwenang di bidangnya. Sertifikat yang dikeluarkan oleh LIPI sangat penting bagi seorang peneliti sebagai bukti kemampuan meneliti. Sertifikat yang dikeluarkan oleh Depdiknas, berdasarkan penilaian pada proses sertifikasi guru, sangat berguna bagi seorang guru sebagai bukti kemampuan mengajar. Sertifikat yang dikeluarkan oleh Pustekkom, Seamolec atau UT sangat bernilai bagi guru maupun penulis sebagai bukti kemampuan menulis modul pembelajaran jarak jauh, baik secara cetak maupun multimedia berbasis Information Communication Technology (ICT) atau pendidikan berbasis teknologi informasi dan komunikasi.
Sejak pemerintah menetapkan program sertifikasi untuk pegawai fungsional seperti guru, dosen dan peneliti, sertifikat merupakan satu di antara dokumen penting yang sangat diperhitungkan mampu menambah nilai untuk mendapatkan tunjangan yang cukup menggiurkan. Oleh karena itu, kegiatan seperti seminar, workshop, atau pelatihan, yang memberikan sertifikat akan selalu diminati dan diburu, walaupun judul kegiatan yang menarik juga memegang peran penting.
Berdasarkan penjelasan di atas, simpulannya adalah sertifikat dapat digunakan sebagai dokumen penting yang bernilai tinggi bagi orang yang memilikinya.

*Artikel ini diterbitkan di Pontianak Post pada tanggal 11 Oktober 2009

No Pedestrian City (Kota tanpa Pejalan Kaki)*

Yusnita Achmad, S.Pd.

“Aduh, panas juga. Kok mirip Bekasi?” Itulah kesan pertama saya datang ke kota ini. Tidak seperti Jakarta yang mempunyai kemiripan cuaca dengan Pontianak, kota yang terkenal dengan sebutan Kota Seribu Parit ini, tidak mempunyai seribu atau lebih area untuk pejalan kaki. Pertanyaan tentang pejalan kaki pernah saya utarakan kepada kawan saya. Jawabannya adalah karena panas, tidak akan banyak orang yang berjalan kaki. Kondisi ini menyebabkan penyediaan fasilitas umum untuk pejalan kaki yang tidak begitu banyak. Yang ada pun tidak terlalu digunakan dengan efektif. Ya itu tadi karena hampir tidak ada orang yang rela berpanas-panas dengan berjalan kaki. Semua orang pasti berkendara baik motor maupun mobil. Jika dipandang dari konsep kehidupan kota seperti ini, maka Pontianak dapat dikatakan tidak berpihak pada pejalan kaki.

Kisah pejalan kaki

Selama hampir tiga tahun saya dan kedua kawan saya berjalan kaki dari rumah menuju kantor, banyak suka duka yang kami alami. Terutama dukanya, dari diklakson oleh mobil yang tidak sabar menunggu kami yang berjalan lambat sampai ada yang hampir menyerempet tidak jarang kami alami. Memang benar kami berjalan dijalur yang dilalui kendaraan. Hal tersebut kami lakukan karena memang tidak ada trotoar atau ruang untuk pejalan kaki. Aktifitas jalan kaki kami pilih karena tidak adanya akses transportasi dari rumah kemanapun tempat yang ingin kami tuju. Selain sekalian olah raga, jalan kaki juga pilihan bagi saya yang tidak punya kendaraan dan trauma dalam berkendara di kota Pontianak.

Selain kisah kami, banyak lagi kisah pejalan kaki yang tidak diperlakukan sopan oleh pengendara. Salah satunya adalah kisah yang disampaikan oleh kawan saya saat ibunya ditabrak oleh sebuah motor ketika beliau menyeberang jalan di depan sebuah kantor di jalan Ahmad Yani. Akibat kecelakaan tersebut, si ibu mengalami patah tulang di bagian tangan dan kakinya. Alhamdulillah, sekarang beliau telah sembuh setelah lebih dari lima bulan melewati masa pengobatan dan terapi berjalan. Memang benar beliau menyebrang tidak pada tempatnya karena memang tidak ada tempat untuk menyeberang. Sejauh pengamatan saya, memang tidak begitu banyak bahkan hampir tidak ada zebra cross atau tempat penyeberangan untuk pejalan kaki di kota Pontianak. Baik di jalan utama seperti jalan Ahmad Yani maupun jalan-jalan di setiap sudut kota, penyeberang harus mempunyai ‘keahlian khusus’ dalam menyeberang. Mengapa saya katakan keahlian khusus? Saya katakan demikian karena toleransi pengendara yang sangat kurang. Kebanyakan pengendara tidak mau menghentikan atau setidaknya memperlambat laju kendaraannya saat ada orang di depannya yang menyeberang. Dengan demikian, penyeberang jalan harus mempunyai strategi bagaimana menyeberang dengan selamat. Seperti di depan jalan Media yang berseberangan dengan jalan Perdana. Bisa diperkirakan, aktifitas orang menyeberang di daerah tersebut sungguh tinggi sehingga sewajarnya pengendara sudah tahu dan mengerti kondisi tersebut. Namun, tetap saja ketika menyeberang saya bisa rasakan bahwa mereka tidak mau mengalah dan menganggap orang yang menyeberang adalah pengganggu mulusnya laju kendaraan mereka. Sungguh tidak adil.

Tidak ada salahnya berjalan kaki.

Namun tidak demikian di Pontianak. Seperti pernyataan kawan-kawan saya yang sudah lama tinggal di Pontianak, “Orang Pontianak itu kalau tidak punya kendaraan seperti tidak punya kaki.” Mendengar hal tersebut, saya pun tertawa. Jika demikian, saya termasuk orang yang tidak punya kaki. Namun pernyataan kawan saya yang lain cukup membesarkan hati saya. Kawan saya itu iri dengan saya dan kedua kawan saya karena dia tidak mempunyai waktu untuk berjalan kaki. Dia memperhatikan kami yang selalu sehat dan bugar dalam menjalankan aktifitas keseharian kami.

Kebanyakan orang Pontianak melakukan aktifitas yang seharusnya bisa dilakukan dengan berjalan kaki, dilakukan dengan menggunakan kendaraan. Pergi ke suatu tempat dengan jarak 100-200 meter saja harus menggunakan kendaraan. Berdasarkan penelitian pakar-pakar kesehatan Amerika Serikat, berjalan kaki sangat banyak manfaatnya, baik dilakukan dalam aktifitas sehari-hari maupun olah raga. Berjalan kaki baik untuk jantung, mengurangi risiko kanker payudara, membuat tidur lebih nyenyak, membuat bahagia, mengurangi rasa sakit atau nyeri, membuat langsing, awet muda, dan mengurangi keropos tulang. Oleh karena itu, kita disarankan untuk berjalan kaki minimal sepuluh ribu langkah setiap hari. Selain sehat, berjalan kaki juga mampu mengurangi polusi udara yang dihasilkan oleh kendaraan bermotor.

Harapan di ulang tahun yang ke-238

Pemerintah kota diharapkan sejenak mengalihkan pandangan pada fasilitas-fasilitas kota yang berhubungan dengan masalah lintasan khusus untuk pejalan kaki, baik trotoar, zebra cross, maupun lampu lalu lintas. Bukan hanya untuk sarana olahraga, tetapi juga untuk aktifitas sehari-hari seperti pergi bekerja, berbelanja, maupun jalan-jalan santai. Sebenarnya, jika pemerintah kota mau menyediakan fasilitas-fasilitas umum untuk pejalan kaki walaupun sedikit tetapi efektif dalam penggunaannya dan perawatannya, kemungkinan buruk tidak akan terjadi. Selain itu, perlu adanya imbauan tentang toleransi para pengendara kepada pejalan kaki mengingat keselamatan pejalan kaki adalah hal utama bagi pengendara.

Pembatasan jalur kendaraan roda empat dan roda dua sudah dilakukan oleh pihak kepolisian yang berwenang dalam mengatur lalu lintas kota, terutama di jalan utama Ahmad Yani. Hal tersebut sungguh membantu pejalan kaki ketika menyeberang jalan yang luar biasa luasnya. Jika diukur, luasnya mungkin mampu menampung 4 sampai 5 mobil yang disusun dari satu sisi jalan ke sisi yang lainnya. Namun, tetap saja program kepolisian ini tidak diikuti dengan kesadaran yang penuh oleh pengendara khususnya pengendara motor. Suatu ketika saya akan menyeberang, tiba-tiba ada sebuah motor yang mengambil jalur mobil yang saya lihat tadi sudah kosong. Spontan saya urungkan niat saya untuk menyeberang dan berdiri terpaku sambil menggeleng-gelengkan kepala melihat motor tadi. Oh, Tuhan.

Selain itu, fasilitas zebra cross dan lampu lalu lintas juga harus ditingkatkan lagi penyediaan dan penggunaannya. Di satu sudut kota, ada satu persimpangan empat jalan yang tidak dilengkapi zebra cross dan lampu lalu lintas. Dua sisi masih memiliki lampu lalu lintas yang berdiri tegak dan berfungsi baik sedangkan dua sisi lainnya tidak ada lampu sama sekali. Hasilnya, kekacauan tidak dapat dihindari. Hal seperti ini membuat saya miris melihatnya. Padahal untuk tata kota yang baik, fasilitas-fasilitas umum yang bertujuan untuk keselamatan dan kenyamanan pengguna jalan harus menjadi perhatian utama pemerintah kota.

Mudah-mudahan pemerintah kota Pontianak mau mendengar keluhan-keluhan masyarakatnya. Apalagi dalam rangka pesta ulang tahun kota Pontianak yang ke-238, yang berarti sedang bersenang-senang merayakan pertambahan umur, kota Pontianak juga harus semakin dewasa dan bijaksana dalam menyikapi permasalahan yang terjadi. Selain itu, kota Pontianak harus semakin bersemangat dalam berbenah diri dan mempercantik wajah kota sebagai ikon dan ibukota provinsi Kalimantan Barat. Dirgahayu Kota Pontianak! Dirgahayu kotaku! Jayalah selalu!


*Artikel ini diterbitkan di Surat Kabar lokal Borneo Tribune dalam Edisi Khusus menyambut hari Ulang Tahun ke-238 Kota Pontianak

Thursday, May 28, 2009

REMAJA ITU BERPUISI



Dunia sastra memang tidak bisa dibatasi oleh usia. Kandungan sastra yang sangat sarat akan keindahan dan nilai-nilai kehidupan mampu merasuki kehidupan hakiki manusia, baik disadari maupun diabaikan. Bagi yang menyadari, muda maupun lanjut usia tak jarang untuk mau dan suka menyampaikan isi hatinya dalam bentuk karya sastra, yang satu di antaranya adalah puisi. Banyak sastrawan yang sudah kita kenal yang dalam hidupnya mengabdi untuk menghasilkan karya puisi yang sangat indah, seperti Chairil Anwar, W.S. Rendra, Sapardi Djoko Damono, dll. Generasi muda dan wanita pun terwakili oleh Rieke Diah Pitaloka, Laksmi Pamuntjak, dll. Dari generasi yang lebih muda lagi pun sudah ada yang mampu menghasilkan karya sastra yang cukup diacungi jempol. Kata-kata sederhana namun indah mampu terungkap dari suara mungil seorang Faiz yang telah menghasilkan karyanya dalam bentuk puisi. Abdurahman Faiz yang kini berumur 14 tahun merupakan anak dari seorang penulis terkenal, Helvy Tiana Rosa. Saat kelas II SD, dia pernah menjadi juara Lomba Cipta Puisi Tingkat SD seluruh Indonesia yang diadakan Pusat Bahasa Depdiknas (2004) dengan puisi “Sahabatku Buku” (www.id.wikipedia.org).

Selain mereka yang menyadari arti sastra, ada pula yang mungkin tidak menyadari atau mengabaikannya. Sesungguhnya sastra tetap tidak bisa lepas dalam keseharian hidup manusia, misalnya pada saat berdoa. Kata-kata indah dalam doa merupakan puisi atau ungkapan hati untuk memuji kebesaran sang Pencipta dalam komunikasi antara hamba dan Tuhannya. Begitu juga pada bait-bait lagu yang sering kita dendangkan mengandung karya-karya sastra yakni puisi dan cerita. Begitu penting dan bermaknanya sebuah karya sastra, tak ada salah bagi kita untuk meningkatkan kesadaran bersastra masyarakat agar sastra dapat lebih dikenal dan dinikmati oleh siapapun. Lebih baik lagi jika kesadaran itu dapat dipupuk sedini mungkin agar dapat melahirkan sastrawan-sastrawan dan penikmat-penikmat sastra di masa depan.

Sebagai instansi yang bertanggung jawab terhadap peningkatan kualitas pendidikan, Dinas Pendidikan Provinsi Kalimantan Barat merealisasi peningkatan kesadaran bersastra tersebut. Setakat ini, tepatnya tanggal 4 sampai 6 Mei 2009, Dinas Pendidikan telah menyelenggarakan Festival dan Lomba Olahraga, Seni dan Sastra. Berbagai macam lomba diselenggarakan untuk tingkat SD, SMP, dan SMA. Seluruh lokasi penyelenggaraan dipusatkan di Kota Pontianak. Namun, untuk lomba seni dan sastra tingkat SMP dipusatkan di Taman Budaya, Aula Museum Kalimantan Barat dan Aula Balai Bahasa Provinsi Kalimantan Barat. Lomba-lomba seni dan sastra yang diselenggarakan adalah Lomba Musik Tradisional, Lomba Tari Tradisional, Lomba Lukis, Lomba Kriya, Lomba Menyanyi Tunggal, Lomba Vokal Grup, Lomba Cipta Lagu, Lomba Bercerita (Story Telling), Lomba Cipta Puisi Balada dan Lomba Cipta Cerpen.

Satu di antara perlombaan tersebut adalah Lomba Cipta Puisi Balada. Lomba ini diadakan di Aula Balai Bahasa Provinsi Kalimantan Barat. Peserta yang mengikuti lomba ini sebanyak sembilan peserta yang berasal dari sekolah-sekolah swasta dan negeri di dua kota dan tujuh kabupaten. Dua kota mengirimkan perwakilannya dari SMP Islam Al-Azhar 17 Kota Pontianak dan SMPN 8 Kota Singkawang. Sedangkan ketujuh kabupaten diwakili oleh SMPN 2 Sungai Kakap Kabupaten Kubu Raya, SMPN 1 Sungai Pinyuh Kabupaten Pontianak, SMPN 2 Ngabang Kabupaten Landak, SMPN 1 Sungai Raya Kepulauan Kabupaten Bengkayang, SMPN 1 Kabupaten Sekadau, SMPN 1 Kabupaten Sintang, dan SMPN 3 Sukadana Kabupaten Kayong Utara. Mereka saling bersaing sehat untuk memperebutkan juara I, II, dan III tingkat provinsi. Perlombaan tingkat provinsi ini sangat penting karena perlombaan ini menentukan satu perwakilan yang akan dikirim ke perlombaan tingkat nasional.

Lomba Cipta Puisi Balada tahun ini terdiri dari dua babak, yakni babak penyisihan dan babak final. Pada babak penyisihan, kesembilan peserta diberi waktu untuk mencipta puisi. Kemudian, mereka diberi kesempatan untuk membacakan hasil cipta mereka di depan dewan juri. Setelah pembacaan puisi, dewan juri menilai hasil cipta dan aksi mereka dalam membaca puisi. Akhir dari babak penyisihan ini menghasilkan lima peserta yang berhak masuk babak final. Pada babak final, lima peserta tersebut cukup bersaing ketat untuk meraih juara I, II, dan III. Kelima peserta ini, menurut juri, berhak untuk maju sebagai juara. Dilihat dari hasil karya di babak penyisihan, mereka sangat hebat karena di usia yang sangat muda sudah mempunyai kesempatan emas untuk berkarya dan berlomba, seperti dikutip dari pernyataan Pay Jarot Soejarwo seorang sastrawan muda Kalimantan Barat pada saat mengulas hasil karya peserta pada babak penyisihan. Namun, tentu saja mekanisme lomba telah mengatur hanya tiga peserta yang dipilih dari lima peserta yang berlomba di babak final.

Sistem penilaian lomba berdasarkan pada dua unsur utama yakni cipta puisi dan pembacaan puisi. Untuk cipta puisi, hasil karya peserta dinilai berdasarkan tema, diksi, kedalaman makna. Sedangkan untuk pembacaan puisi, aksi peserta dinilai berdasarkan intonasi, mimik, artikulasi (kejelasan pengucapan), kelantangan suara (volume vokal), dan variasi gaya. Sedangkan tema yang ditetapkan oleh panitia berakar pada lingkungan, masyarakat, dan budaya. Peserta dibebaskan memilih satu di antara tema-tema tersebut.

Di akhir perlombaan, dewan juri memutuskan Nanda Elok Juwita sebagai juara I. Nanda, dengan puisi haru yang berjudul “Balada Kejadian Hidup Masyarakat Kini”, mewakili SMP Islam Al-Azhar 17 dari Kota Pontianak. Nanda berhasil mengalahkan Adita Widya Pangestika dari SMPN 2 Ngabang, Kabupaten Landak yang meraih juara II. Adita menghasilkan puisi indah yang berjudul “Jeritan Alam”. Sedangkan juara III diraih oleh Istiana yang mewakili SMPN 1 Sungai Pinyuh, Kabupaten Pontianak. Puisinya yang menyentuh kalbu berjudul “Ayah”. Persaingan ketiga juara ini cukup signifikan karena skor yang didapat tidak terlalu terpaut jauh. Hal ini membuktikan bahwa mereka adalah siswa-siswa pilihan yang memang mempunyai bakat dan kemampuan bersastra. Mereka mampu membuktikan kemampuan mereka dalam persaingan dengan siswa-siswa pilihan lainnya.

Mengutip dari pernyataan Adam Effendy, S.S., satu di antara dewan juri Lomba Cipta Puisi Balada yang merupakan peneliti dari Balai Bahasa Provinsi Kalimantan Barat, urutan juara I, II, dan III tersebut merupakan formasi yang sangat sesuai dengan data dan fakta yang terjadi di lapangan. Sesungguhnya semua peserta lomba tersebut memiliki kesempatan yang sama untuk menjadi juara karena mereka adalah unggulan dari setiap kabupaten dan kota. Namun, tampaknya stamina berlomba berpengaruh cukup besar. Hal ini ditengarai dari kualitas puisi ciptaan dan penampilan pembacaan puisi yang justru menurun pada saat babak final dibandingkan pada saat babak penyisihan. Meskipun demikian dewan juri yakin setiap finalis telah mempersembahkan yang terbaik.

Walaupun tahun ini, kota Pontianak memegang juara pertama, namun untuk tahun-tahun berikutnya perwakilan-perwakilan daerah diharapkan dapat meraih gelar tersebut. Harapan tersebut tentu saja dapat terealisasi dengan dukungan berbagai pihak. Dalam hal ini, khususnya para pendamping peserta yakni guru Bahasa Indonesia memiliki peran utama dalam membimbing siswa-siswanya untuk tetap mampu berkarya dan berlomba. Selain materi ajar, guru juga perlu membimbing mental siswa untuk siap kalah di samping siap menang. Hal ini dimaksudkan jika siswa mendapat kesempatan mengikuti perlombaan tahun berikutnya, siswa tidak akan patah semangat untuk mencoba lagi dan meraih juara pertama. Jika semangat ini terus dipupuk, tidak tertutup kemungkinan lahirnya sastrawan lokal Kalimantan Barat yang mampu menembus kancah kesusasteraan nasional.

Friday, April 24, 2009

Today1

Kamis, 23 April 2009, 10:52

Hayo, mau alasan apalagi? Ungkapan yang muncul dalam pikiran dan benakku. Ia merespons apa yang telah dilihat oleh mataku. Apakah yang aku lihat? Tepatnya aku baca. Aku baru saja membaca materi motivasi. Sebelumnya perlu diketahui, aku baru saja mendaftar kursus gratis online dari laman www.penulislepas.com. Materi tersebut memang sangat cocok diletakkan di awal kursus. Bagaimana materi itu mencambukku dengan kenyataan bahwa motivasi adalah segala-galanya untuk berbuat sesuatu. Entah itu karena dirangsang atau terangsang, motivasi harus tertanam dalam-dalam di benak maupun di otak kita. Jika ada motivasi, sesuatu akan terjadi. Hal abstrak akan menjadi nyata jika digerakkan oleh motivasi. Jadikanlah “in the mood” sebagai moto hidupmu dalam membangun motivasi selalu ada di dalam diri. Aku tidak akan bertekad, tetapi aku akan menjadikan moto hidup tersebut sebuah pohon yang selalu hijau. Motivasi memang alasan dan masalah terbesar dalam dunia menulisku. Keinginan sudah tumbuh, alat sudah tersedia, media sudah menunggu, semangat sudah berbenih. Namun, khayalannya hanya semangat itu tidak dipupuk setiap hari. Oleh karena itu, kenyataannya pupuklah mulai dari sekarang.

Wednesday, April 22, 2009

Perjalanan ke Sintang

Goyang kiri……goyang kiri……Goyang kanan……goyang kanan……Putar ke kiri…putar ke kanan…….Petikan bait lagu anak-anak yang dulu sering aku nyanyikan, kembali aku dendangkan sepanjang jalanku ke daerah Sintang. Kondisi jalan yang unik, berlubang sebesar kaki hewan purba membuat bis dan seluruh isinya menari. Goyang ke kanan, goyang ke kiri, tetapi tentu saja tidak berputar.

Ini kali pertama aku pergi ke daerah yang lebih jauh dari daerah yang pernah aku kunjungi sebelumnya di Kalimantan Barat. Sebelumnya aku pernah ke daerah Sambas, Ngabang dan Mempawah. Waktu itu perjalanan masing-masing daerah tersebut hanya ditempuh selama 6 jam ke Sambas, 4 jam ke Ngabang, dan 1 jam 30 menit ke Mempawah jika dihitung dari Pontianak. Perjalanan ke Sintang ini menempuh lebih kurang 12 jam dengan kecepatan rata-rata 40-60 km/jam untuk kendaraan besar dan kondisi jalan yang tidak stabil.

Namun, beruntung aku bisa mengambil perjalanan dari pagi yakni pukul 08.00 dari Pontianak. Jadwal yang disediakan bis Damri hanya dua. Berangkat pukul 08.00 pagi akan sampai Sintang pukul 20.00 malam, dan berangkat pukul 19.30 malam akan tiba pukul 07.00 atau 08.00 pagi. Selain berharap tidak akan bermalam di dalam bis Damri jika aku mengambil jadwal malam hari, aku juga ingin menikmati pemandangan sepanjang jalan ke Sintang yang baru pertama kali aku lewati.

Perjalanan sangat menyenangkan sejak aku dan kawanku berangkat. Suasana pagi yang cerah dan pemandangan sepanjang daerah Siantan. Kilauan padi yang menguning memantulkan cahaya matahari di sepanjang jalan menuju daerah Anjungan, bukit hijau yang menambah kontras warna pesawahan di sepanjang jalan di kecamatan Sengah Temila. Hatiku pun tercerah dengan paduan alam yang begitu indah itu. Jalan aspal masih terasa mulus sampai di kota Ngabang. Aku sudah sedikit hafal dan menikmati perjalanan dari Pontianak ke Ngabang karena perjalanan ini untuk yang kedua kalinya. Dua minggu yang lalu tepatnya minggu pertama bulan Maret aku menjalankan tugas dari kantor untuk sosialisasi UKBI di Dinas Pendidikan di kota Ngabang, Kabupaten Landak.

Waktu itu perjalanan tidak terlalu kunikmati karena aku melintas daerah itu pada malam hari. Ketika malam, aku tidak bisa sama sekali melihat indahnya pemandangan Gunung Seha yang katanya ‘agak menyeramkan’. Ya, memang. Gunung Seha ketika malam, menurutku, seram sekali dimana jalan raya seperti di selimuti balutan pohon-pohon raksasa dan gumpalan semak belukar. Aku terbayang-bayang apa jadinya aku jika aku ada di gunung itu sendirian. Sungguh mengerikan. Mudah-mudahan hal itu tidak terjadi. Namun, ketika aku melewatinya di siang hari, memang benar-benar indah, sejuk dan segar. Udara yang dingin menambah kenyamanan orang yang melintasinya. Dari nama Gunung Seha, menurutku, sebenarnya tidak terlalu berbentuk gunung melainkan lebih menyerupai bukit. Oleh karena itu, apabila bisa disamakan dengan konsep daerah yang sama di pulau Jawa, aku bisa merasakan saat melewati Gunung Seha seperti ketika aku melewati perbukitan di daerah Sumedang menuju Bandung atau daerah Cianjur baik menuju kawasan Puncak Bogor maupun arah sebaliknya, yakni Bandung. Dari tikungan-tikungan yang hampir curam, struktur jalan yang menanjak dengan jurang-jurang yang sudah siap melahap siapa saja yang jatuh di sana sampai pada suasana sepanjang kanan dan kiri jalan yang di tutupi pepohonan dan rumah penduduk.

Selain itu, keunikan yang sama pula, kios-kios yang menjual hasil hutan di sekitar gunung atau bukit. Ketika aku mengunjungi rumah nenekku di daerah Lembang Bandung, banyak sekali para penjual kelinci baik untuk dipelihara maupun untuk disantap di sepanjang jalan menanjak menuju Lembang. Kita dapat merasakan sate kelinci di sana. Di daerah Cianjur, banyak di jumpai penjual tapai singkong yang lebih dikenal dengan ‘peuyeum’, penjual tanaman hias, penjual buah-buahan, dan lain-lain. Gunung Seha menyajikan bahan makanan dari akar bambu yang lebih dikenal dengan ‘rebung’, buah pisang, keladi, dan lain-lain. Rebung dari Gunung Seha terkenal enak sekali, segar dan tidak pahit. Dijual sudah dalam keadaan bersih, tanpa bulu dan masih muda dengan harga hanya sekitar Rp. 5000 untuk setiap bungkusnya. Suasana unik demikian hampir terasa sama dengan daerah-daerah perbukitan yang pernah aku kunjungi di pulau Jawa. Mungkin bedanya adalah rumah penduduk. Populasi penduduk di daerah-daerah sejenis Gunung Seha di pulau Jawa agak lebih banyak aku temukan dibandingkan dengan jumlah penduduk di Gunung Seha.

Setelah melewati Gunung Seha dan Pahauman, bis pun sampai di kota Ngabang. Kota ini menimbulkan kekaguman bagiku. Daerah pemukiman yang menghiasi bukit-bukit, udara yang sejuk, suasana kota yang tidak terlalu ramai seperti ramainya kota Pontianak memberikan pengalaman lain bagiku. Kota Ngabang agak mengubah pandanganku terhadap khayalanku tentang Kalimantan. Satu hal lagi yang aku kagumi dari kota Ngabang adalah kantor Bupati Kabupaten Landak yang sangat megah. Dengan perpaduan arsitektur modern dan budaya lokal, bangunan itu berdiri sangat megah dan berhalaman sangat luas. Bangunan itu menghiasi perbukitan yang dikelilingi hutan sawit. Sekali lagi, sungguh perpaduan alam yang sangat indah.

Perjalanan pun dilanjutkan hingga bis ku berhenti di Simpang Sosok. Waktu telah lewat tengah hari sekitar pukul 14.00. Aku dan kawanku pun turun untuk menghirup udara segar dan memenuhi panggilan alam, ke toilet. Kami dan penumpang lain melakukan hal yang hampir sama. Persinggahan kami di akhiri setelah kami selesai makan. Nah, hal makan juga membuat aku takjub. Ketakjuban itu sebenarnya sudah dimulai sejak pertama kali kami singgah di daerah Sengah Temila. Waktu itu kami harus membayar Rp.15.000,- hanya untuk semangkuk bakso dan secangkir teh manis. Di Sosok, aku harus membayar Rp.21.000,- untuk setengah piring nasi, satu potong daging, dan kuah sayur nangka dengan secangkir teh manis. Aduh, memang mahal sekali. Namun, aku paham. Mahalnya harga makanan itu disebabkan oleh kondisi daerah yang jauh dari perkotaan. Mungkin saja bahan pangan tersebut banyak yang dikirim dari Pontianak bahkan bisa jadi dari negara lain, misalnya Malaysia. Karena dari Simpang Sosok itu terdapat akses mudah menuju Kuching Malaysia.

Ketika kami beristirahat setelah makan siang, lamunanku membawaku kepada imajinasiku melewati jalan bagus menuju akhir dari jalan itu. Hanya dengan menggunakan transportasi darat aku bisa dengan mudah mencapai negara lain, ya negara lain. Begitu mudahnya apalagi jika aku sudah mempunyai surat izin atau paspor. Akan seperti apakah perasaanku ketika menginjakkan kaki di tanah Malaysia? Bagaimanakah suasana negeri itu? Sama atau bedakah dengan negeriku? Pertanyaan-pertanyaanku itu menghiasi atas kepalaku, sedikit lebih tinggi di atas kain lembut jilbabku. Seketika pertanyaan-pertanyaan itu kabur saat kawanku mengajakku membayar makanan yang sudah kami habiskan. Kami tidak boleh lama beristirahat dan harus segera beranjak karena sang supir telah memperingatkan dengan teriakannya tanda kami harus melanjutkan perjalanan. Waktu yang disediakan selama 30 menit sudah dianggap cukup kami terima untuk makan siang, istirahat dan salat dzuhur. Supir tidak boleh memperlambat perjalanan dengan memperbanyak waktu istirahat karena ia dan asistennya harus tiba tepat waktu di tempat tujuan, Sintang. Di Sintang nanti, bis sudah ditunggu oleh petugas pengawas dan penumpang untuk kemudian melanjutkan perjalanan kembali ke Pontianak.

Sejak keluar dari Kabupaten Landak perjalanan yang mengocok perut memang sudah dimulai. Namun, perjalanan berikutnya tidak kalah mengocoknya dengan perjalanan sebelumnya. Setelah kami melewati simpang Sosok lebih mengocok lagi. Perjalanan kami dimulai dengan melewati gerbang selamat datang di Kabupaten Sanggau di antara daerah perbukitan. Aku menyebut itu daerah perbukitan karena lokasi gerbang selamat datang tersebut berada di atas bukit yang apabila aku berdiri di dekat perbatasan tersebut, aku akan bisa memandang hamparan perkebunan kelapa sawit yang menghiasi perbukitan di depanku. Waktu itu, aku tidak memandang secara langsung dan menginjakkan kaki di bukit itu, melainkan aku memandang sambil duduk manis di dalam bis. Namun, aku cukup menikmati pemandangan itu dan mengaguminya sebesar keingintahuanku terhadap daerah-daerah di Kalimantan Barat.

Petualangan seru dimulai setelah kami memasuki daerah Kabupaten Sanggau. Setelah melewati gerbang selamat datang, bis melewati jalan yang tidak rata, menurun dan berbelok-belok. Di kanan kiri jalan itu terdapat dataran tinggi yang membungkus bis kami dan kendaraan lainnya. Kami seperti berada di dalam lembah di antara dua gunung batu yang cadas dan tidak banyak pepohonan atau pun semak belukar. Ada tanaman pun masih belum bisa menyejukkan hawa di sekitar jalan itu. Dengan struktur tanah yang tidak rata, berlubang dan berdebu, lengkaplah ketidaknyamanan perjalananku. Walaupun di gerbang selamat datang tadi, aku baru saja berharap akan mendapatkan petualangan yang menyenangkan. Kendaraan yang agak ramai di depan dan belakang kami pun mungkin merasakan hal yang sama.

Acara mengocok perut sudah dimulai lagi. Setiap beberapa meter, bis kami harus melambat dan berjalan pelan sekali mengikuti bentuk jalan yang berlubang. Terkadang supir harus memilih jalan yang ‘agak’ rata untuk dilalui agar tidak terjadi keadaan yang tidak diinginkan. Misalnya terjebak di dalam lubang karena bagian kerangka mobil terendah tidak mampu melewati dinding bagian atas lubang. Perlu diketahui, ada banyak lubang yang kedalamannya mencapai 30-50 centimeter. Untuk ukuran bis-bis besar seperti yang sedang aku naiki ini, mungkin tidak akan mengalami kejadian terjebak di dalam lubang karena ukuran diameter ban yang cukup besar dan lebih tinggi dari jarak kedalaman lubang. Rata-rata ukuran diameter ban untuk bis besar adalah 1 meter. Namun, sang supir bis kami sangat berhati-hati pada setiap lubang yang kami lewati tidak terkecuali lubang-lubang kecil. Pernah ada kejadian, kami melewati mobil truk kecil yang sedang terjebak di dalam lubang yang lumayan dalam dan besar. Kesulitan yang kami hadapi menjadi ganda, yakni bagaimana melewati kendaraan yang berada di tengah jalan tanpa ikut terjebak juga di lubang yang lain. Sang supir cukup melancarkan strategi karena baik di samping kanan maupun kiri kendaraan malang tadi sempit dan berlubang juga. Untung saja di sisi kanan maupun kiri jalan bukan jurang melainkan padang rumput. Akhirnya, kami mampu melewati hambatan tersebut tanpa terjebak di dalam lubang maupun jatuh ke jurang. Alhamdullillah dan cukup seru juga.

Sekilas aku membaca papan nama dari Pengadilan Negeri Agama Kabupaten Sanggau, ternyata jalan yang aku lalui bernama Jalan Jenderal Sudirman. Pikiranku membandingkan jalan Jenderal Sudirman yang ada di Jakarta. Memang jauh berbeda jika perbandingannya pada faktor kondisi jalan raya dan bangunan-bangunan di sepanjang jalan tersebut. Jalan Jenderal Sudirman Jakarta merupakan jalan protokol yang menghubungkan jalan-jalan alternatif dari daerah pinggir Jakarta menuju daerah pusat Jakarta. Selain itu, jalan Jenderal Sudirman Jakarta merupakan pembuka jalan menuju jalan protokol kedua yakni jalan Jenderal M.H. Thamrin yang terkenal dengan kerapatan gedung-gedung perkantoran yang bertingkat lebih dari 5 lantai. Dikatakan pembuka jalan bagi masyarakat yang datang dari arah selatan Jakarta dan sekitarnya. Bagi yang datang dari arah utara Jakarta, mereka langsung bisa masuk ke jalan M.H. Thamrin. Mereka bisa melewati jalan Jenderal Sudirman jika mereka akan menuju selatan Jakarta. Oleh karena sebagai jalan protokol yang dilalui oleh baik masyarakat menengah ke bawah maupun menengah ke atas, jalan selalu dirawat agar setiap pengendara merasa nyaman. Segi tata keindahan kota pun menjadi alasan agar jalan protokol selalu bagus dan asri.

Sedangkan jika dibandingkan dengan jalan Jenderal Sudirman yang terletak di Kelurahan Bunut Kota Sanggau Kabupaten Sanggau, kondisi jalan raya ini begitu banyak lubang kecuali saat memasuki pusat kota Sanggau. Panjang jalan ini pun sangat panjang. Menurut ukuran, jalan ini diperkirakan 2-3 kali lipat jalan Jenderal Sudirman di Jakarta. Perbedaan lainnya adalah bentuk dan jenis bangunan dan pemandangan di sisi kanan kiri jalan. Bangunan di sepanjang jalan ini tidak terlalu padat dan banyak di penuhi oleh padang rumput dan hutan kecil. Sesekali ditemukan rumah penduduk baik yang masih tradisional maupun yang sudah modern. Tradisional disini diukur dari bahan bangunan yang didominasi oleh kayu. Kebanyakan dari rumah tersebut masih mempertahankan bentuk aslinya yakni rumah panggung khas pulau Kalimantan. Sungguh perpaduan dunia modern dan tradisional yang mengagumkan. Lebih mengagumkan dan menakjubkan lagi, aku menemukan perpaduan teknologi dengan kesederhanaan yang cukup kontras. Tidak hanya di Sanggau, aku menemukan begitu banyak fenomena ini di berbagai daerah yang aku lalui. Fenomena tersebut adalah jumlah rumah kayu yang memiliki antena parabola begitu banyak. Aku sempat berkata “Wah!”. Di dalam benakku, berapakah harga antena parabola itu? Murahkah? Ataukah kebutuhan memiliki antena parabola melebihi kebutuhan untuk merenovasi rumah? Mungkin saja aku terlalu memandang sebelah mata penghuni rumah-rumah kayu tersebut. Walau dari tampak luar rumah kayu tersebut sederhana dan terkesan lusuh, mungkin saja kekayaan penghuninya tidak kalah dengan orang yang berada.

Selain rumah penduduk, aku juga melihat bangunan-bangunan lainnya. Satu kali aku melewati Taman Makam Pahlawan yang bernama Patriot bangsa. Kalau aku sempat mampir mengunjungi TMP tersebut, aku akan dapat mengetahui pahlawan-pahlawan nasional yang tentunya berasal dari putra-putri daerah Sanggau atau Kalimantan Barat. Selain itu, aku juga melihat kantor KPPN Sanggau yang berdiri megah dan indah di atas dataran tinggi. Kalau aku perhatikan ternyata banyak sekali bangunan-bangunan yang didirikan di atas tanah yang lebih tinggi dari jalan raya. Mungkin dapat dikatakan bangunan-bangunan tersebut didirikan di atas bukit. Ada satu tempat yang membuat aku takjub. Masih di sepanjang jalan Jenderal Sudirman, aku melihat sekelompok orang yang sedang duduk di tebing batu. Sepanjang aku melewati daerah tersebut, aku memerhatikan kegiatan yang sedang dilakukan oleh sekelompok orang tersebut. Ternyata, mereka sedang mengikis tebing untuk mengambil bongkahan-bongkahan batu. Bongkahan-bongkahan batu itu dikumpulkan untuk kemudian dijadikan bahan dasar bangunan seperti kerikil, pasir, dan batu pondasi. Aku sempat memerhatikan ekspresi masing-masing orang di dalam kelompok tersebut. Dengan menahan terik matahari dan panasnya hawa yang dihantarkan bebatuan di bawah kaki dan di sekeliling mereka, mereka harus bekerja dengan semangat agar bisa mendapatkan uang. Terlihat kelelahan di wajah mereka yang harus mereka kalahkan. Aku tak habis pikir rasanya dalam posisi mereka. Sungguh jenis pekerjaan yang sangat berat. Mengapa pemilik usaha harus menggunakan tenaga manusia sementara sudah banyak mesin penggali yang lebih cepat dan mudah digunakan? Mungkinkah dengan alasan bahwa membayar buruh lebih murah dibandingkan dengan mengeluarkan biaya operasional mesin penggali? Lalu, apakah tidak akan habis jika bukit itu terus dikikis setiap hari? Aku sungguh tidak mengerti mengenai hal-hal yang berhubungan dengan bisnis seperti itu. Aku hanya mengerti nasib para buruh yang malang itu.

Selain perbedaan yang dimiliki, kesamaan dari fungsi jalan Jenderal Sudirman di Sanggau dengan di Jakarta adalah sebagai jalan utama. Dikatakan jalan utama karena jalan tersebut selalu dilalui oleh kendaraan yang lalu lalang ke berbagai tujuan. Jika orang ingin bepergian ke daerah Sanggau, Sekadau, Sintang atau Kapuas Hulu, ia harus melewati jalan tersebut. Dengan kata lain, jalan Jenderal Sudirman merupakan salah satu jalan utama yang berfungsi sebagai jalan penghubung antara Kabupaten Sanggau dengan kabupaten lainnya, yakni Kabupaten Sekadau, Kabupaten Sintang dan Kabupaten Kapuas Hulu. Begitu pula dengan arah sebaliknya, yakni Kabupaten Landak, Kabupaten Pontianak sampai ke Kota Pontianak.

Setelah sampai di pusat Kota Sanggau, bis kami berbelok menuju jalan A. Yani. Kondisi yang hampir sama dengan jalan A. Yani Pontianak, jalan A. Yani di Sanggau ini ramai dan dipenuhi oleh pertokoan dan gedung-gedung perkantoran baik swasta maupun pemerintah. Kami dapat bernafas lega dan menikmati perjalanan sebentar karena tidak lagi melewati jalan berlubang. Dari jalan A. Yani ini mengantar kami ke suatu jembatan yang melintang di atas sungai Sekayam yang bermuara ke sungai Kapuas. Dari jembatan tersebut, sekali lagi aku dapat melihat hamparan tanaman kelapa sawit di lokasi perbukitan di seberang sungai. Sungguh pemandangan yang menakjubkan. Sama seperti Kabupaten Landak, Kabupaten Sanggau dan Sintang juga banyak dijadikan lahan perkebunan tanaman kelapa sawit. Selain Pulau Sumatera, Pulau Kalimantan termasuk daerah perkebunan tanaman kelapa sawit yang terbanyak. Oleh karena tingginya aktivitas perkebunan tersebut, terdapat dampak negatif yang sangat terasa oleh masyarakat setempat maupun pemakai jalan. Contoh konkritnya adalah rusaknya jalan raya. Oleh karena kontur tanah yang kebanyakan merupakan tanah gambut dan selalu dilalui oleh kendaraan besar dan truk-truk pengangkut yang membawa beban begitu berat, jalan pun dengan mudah rusak dan berlubang. Apalagi jika musim hujan tiba, jalan raya seperti kubangan hewan yang sangat besar. Jalan berlubang yang dipenuhi dengan lumpur berwarna cokelat. Lumpur tersebut cukup indah untuk menghias setiap kendaraan yang melewatinya.

Analisaku tentang penyebab kerusakan jalan tersebut dibuktikan dengan iring-iringan truk kelapa sawit yang berada di depan bis kami. Tidak hanya satu melainkan 5 truk sekaligus berjalan beriringan menuju suatu tempat. Entah apa nama tempat itu. Yang aku tahu hanyalah iringan tersebut memasuki kawasan perkebunan sawit. Sepanjang jalan sebelum sampai di kawasan tersebut, menjadi pengalaman yang unik tersendiri buatku. Bis kami harus berjalan perlahan mengikuti rombongan truk. Sesekali supir ingin mendahului dari arah kanan, selalu saja tidak diberi kesempatan oleh truk di depan bis kami maupun truk-truk lainnya yang berada di depan. Apalagi ketika kami melewati jalan yang sempit di Desa Semuntai Kecamatan Mukok, bis kami tetap saja kehilangan kesempatan untuk mendahului. Aku heran kenapa bisa seperti itu. Truk-truk itu berjalan perlahan karena muatan berupa bongkahan buah kelapa sawit yang menggunung. Namun uniknya, muatan tersebut tidak dilindungi dengan pembungkus atau minimal jaring untuk mencegah agar muatan tersebut tidak jatuh. Aku sangat khawatir ada bongkahan kelapa sawit yang jatuh dan menimpa bis kami sehingga mengganggu perjalanan kami. Apalagi ketika jalan menanjak, hatiku berdebar sambil terus mengamati bongkahan-bongkahan kelapa sawit di atas truk di depanku. Belum lagi ketika kami melewati daerah bertebing, kekhawatiranku semakin bertambah. Untung saja tidak terjadi apa yang aku khawatirkan. Truk-truk tersebut tidak memberi jalan untuk didahului karena di antara supir truk itu ada semacam persaingan. Ada semacam bonus bagi mereka yang lebih cepat sampai di tempat tujuan. Demikian informasi yang aku dapat dari percakapan supir dengan satu di antara penumpang bis. Unik dan lucu juga karena belum pernah aku menemukan hal semacam itu. Lambatnya iring-iringan truk cukup membuat kami kesal. Sementara kami diburu waktu untuk cepat sampai sebelum malam tiba, rombongan truk tetap berjalan pelan. Ketegangan bertambah setiap kali kami dan rombongan truk itu harus melewati lubang dengan selamat. Namun akhirnya, kekesalan kami berakhir ketika kami akan sampai di Kabupaten Sekadau. Satu per satu rombongan truk masuk ke dalam kawasan perkebunan sawit yang terletak di perbatasan Kabupaten Sanggau dan Kabupaten Sekadau. Setelah truk terakhir masuk, barulah kami bisa bernafas lega. Sang supir pun langsung menancap gas.

Waktu telah sampai pada pukul 15:45 sore. Hari mulai gelap ditambah dengan kondisi jalan yang dikelilingi tebing bukit dengan lebatnya pepohonan dan semak belukar. Ketika bis melewati daerah yang agak terbuka dan ramai oleh rumah penduduk, ada pemandangan unik yang tertangkap oleh mataku. Di antara rumah penduduk, ada satu rumah kayu yang di atas kolam. Aku berpikir, kenapa si pemilik rumah melakukan hal tersebut. Mungkinkah untuk memanfaatkan lahan yang sedikit untuk dibangun tempat tinggal dan kolam ikan? Sekilas pengamatanku, ada indikasi ke arah itu. Kolam itu berwarna hijau oleh tumbuhan air yang sepertinya sengaja ditanam untuk makan ikan. Selain itu, aku juga sempat melihat ada seorang laki-laki yang sedang menaburkan sesuatu ke dalam kolam itu seperti layaknya orang yang sedang memberi makan ikan. Berdasarkan hasil pengamatanku tersebut, aku namakan rumah itu dengan ‘rumah kolam’.

Selain pemandangan unik tersebut, aku tidak punya lagi hal-hal unik lainnya karena kelelahan yang menyerang mataku. Sesekali aku terbangun untuk tidur kembali. Di sela-sela bangun dan tidurku, aku sempat melihat Taman Makam Pahlawan Syuhada Bangsa Sintang. Namun, aku tidak bisa bercerita banyak tentang TMP tersebut karena rasa kantukku belum hilang. Hatiku lega karena sudah sampai Sintang, namun tetap saja bis belum berhenti sampai aku terbangun. Aku bertanya kepada kawanku, “Mbak, kita sudah sampai Sintang kan? Kok, enggak berhenti dari tadi ya?”. Temanku pun bingung karena ini juga kali pertama untuk dia ke Sintang. “Mboh, Nit. Aku juga enggak tahu.” Aku tak perlu komentar maupun bertanya lagi karena sudah jelas. Aku hanya perlu menunggu dan mencoba memperhatikan jalan-jalan dan bangunan-bangunan yang diterangi cahaya lampu.

Suasana Kota Sintang di malam hari cukup ramai. Apalagi waktu itu hari masih belum cukup jauh malam. Tepatnya sekitar pukul 19:30 malam. Bis kami melewati jalan yang naik turun. Satu kali kami melewati jalan menanjak kemudian melewati tikungan yang berbentuk tapal kuda. Di dalam benakku, aku baru saja melewati jembatan yang di bawahnya mengalir sungai Kapuas. Wah, aku tak sabar ingin melihatnya esok pagi. Lamunanku terhenti oleh pertanyaan supir yang menanyakan aku dan kawanku hendak turun dimana. Menurut informasi dari kantorku, aku dan kawanku harus menginap di Hotel Sakura. Hotel tersebut tidak sulit ditemukan karena berlokasi dipinggir jalan utama yang dilalui kendaraan umum. Kami pun tiba dan turun dari bis tepat di depan hotel tersebut. Alhamdulillah, akhirnya aku menginjakkan kakiku di Sintang.

Hotel Sakura, sebuah hotel yang cukup nyaman akan fasilitas yang disediakan untuk konsumen. Aku merasa cukup menikmati menginap di sana. Dengan harga standar, aku sudah bisa tidur nyenyak dan melepaskan penatku. Menurut kawanku yang asli berasal dari Sintang, hotel ini dimiliki oleh satu di antara orang terkaya di Sintang. Sungguh menjadi suatu kebanggaan buat aku untuk mengetahui hal itu. Bukan promosi tetapi memang seperti itulah yang aku rasakan. Tidak ada masalah yang aku dapat dari hotel tersebut. Tidak seperti waktu aku menginap di satu hotel di daerah Ngabang. Aku merasa tidak nyaman dengan sarana air yang dimiliki hotel tersebut. Rasa air itu agak aneh, berbau dan membuat kulit menjadi kering. Terutama kulit muka, kulitku menjadi terik dan kering seperti akan pecah. Sarana air di hotel tersebut tidak menyegarkan seperti air yang disediakan di hotel Sakura. Untung saja waktu itu aku membawa pelembab kulit sehingga kulitku tidak terlanjur rusak.

Esok paginya, hari Kamis tanggal 19 Maret 2009, aku dan kawanku harus bangun dan menyiapkan diri untuk melaksanakan tugas. Kami harus segera siap karena kami sudah dipanggil kepala kantor yang menginap juga di hotel Sakura untuk sarapan pagi di suatu tempat di luar hotel. Kepergianku ke Sintang ini memang merupakan tugas kantor. Kami menginap di hotel yang sama dengan kepala kantor dan panitia penyuluhan bahasa dari kantor kami. Kami sebagai anggota tim UKBI bertugas memberikan sosialisasi UKBI kepada guru-guru SMP/MTs, SMA/SMK baik swasta maupun negeri. Acara tersebut akan dibuka oleh kepala kantor kami pukul 09:00 pagi. Oleh karena itu, sekitar pukul 07:00, kami diburu-buru oleh perintah kepala kantor yang sudah menunggu di mobil untuk pergi mencari sarapan pagi. Tentu saja kami tidak bisa menyanggah atau berlama-lama di kamar hotel. Akhirnya kami pun pergi ke suatu tempat di sekitar pasar. Aku tidak tahu apakah tempat itu bisa disebut pasar atau hanya pertokoan. Yang pasti, memang lebih banyak pertokoan dibandingkan bangunan lainnya. Menikmati pagi sambil sarapan bubur di Sintang mengingatkanku ketika aku berkunjung ke Kota Cirebon. Bentuk bangunan dan suasana jalan raya mirip sekali dengan bentuk bangunan dan suasana jalan raya di Kota Cirebon. Seketika aku merasa kangen dengan kota itu karena kota itu sangat berkesan. Liburan di Kota Cirebon termasuk liburan yang menyenangkan dalam hidupku. Selain mengingatkanku akan Kota Cirebon, Sintang pagi itu juga mengingatkanku jauh ke belakang ketika umurku masih 9 tahun. Waktu itu aku mengunjungi rumah kakekku di Purwokerto, Jawa Tengah. Suasana dan bentuk bangunan juga sangat mirip. Ada becak yang mengangkut ibu-ibu yang akan ke pasar. Hanya saja aku tidak menemukan andong, delman atau dokar di Sintang.

Setelah selesai sarapan, kami melesat menuju lokasi acara kami diselenggarakan yakni Gedung Cadika di kompleks perkantoran Dinas Pendidikan Kabupaten Sintang. Dalam perjalanan menuju gedung Cadika, aku mencoba mengingat-ingat suasana kota ketika aku sampai di kota ini. Ada satu hal yang membuat aku kaget. Ternyata jalan yang berliku seperti tapal kuda itu bukan jembatan. Jalan itu melingkari sebuah lapangan rumput yang sedang digunakan oleh sekelompok anggota TNI yang sedang berbaris. Ketika aku memandang ke arah berlawanan dari lapangan tersebut, aku melihat puncak sebuah bukit. Bukit itu dikenal dengan nama ‘Bukit Kelam’. Mengapa dinamakan Bukit Kelam? Mungkin karena warnanya yang gelap. Konon bukit itu merupakan bukti nyata dari sebuah cerita rakyat Sintang pada zaman dahulu. Bukit itu mengingatkanku akan bukit yang mempunyai warna yang berlawanan dengan warna Bukit Kelam. Di daerah Ciseeng, Parung Bogor yang masuk dalam wilayah provinsi Jawa Barat. Bukit itu bernama ‘Gunung Kapur’. Bukit tersebut berwarna putih dari puncak sampai bagian kakinya. Warna putih yang dimiliki bukit tersebut merupakan batuan kapur yang dapat mengeluarkan air belerang di setiap sumber mata airnya. Sungguh dua keindahan alam yang menakjubkan.

Akhirnya kami sampai juga di Gedung Cadika. Di dalam gedung, kami sudah ditunggu oleh beberapa peserta yang sudah berada di dalam aula. Waktu baru saja pukul 08:00 tetapi peserta sudah ada yang datang. Aku salut akan kesungguhan orang-orang daerah untuk mengikuti acara dari kantor kami sebagai perwakilan dari kantor pusat di Jakarta. Kesungguhan seperti itu pun aku temukan juga ketika aku menjalankan tugas yang sama di Kabupaten Landak. Mungkin saja disebabkan oleh demam sertifikasi guru yang melanda Indonesia sampai ke pelosok daerah akhir-akhir ini. Walaupun begitu, mereka tetap mengikuti acara dengan serius dan kooperatif. Acara kami sangat sukses. Aku menganggap acara tersebut sukses karena antusias peserta yang tinggi. Hal ini terbukti pada waktu sesi pertanyaan dan sesi mengerjakan soal-soal UKBI. Pada waktu mereka diberi kesempatan bertanya, mereka sangat antusias dengan berbagai macam pertanyaan. Ada juga yang menawarkan kerjasama untuk mengadakan UKBI untuk siswa-siswa mereka. Tim UKBI menganggap hal ini merupakan tanggapan yang positif dan bukti keberhasilan sosialisasi yang kami lakukan. Selain itu, mereka juga sangat antusias dan serius mengerjakan tes prediksi UKBI yang kami berikan. Ada peristiwa lucu yang sempat aku abadikan dalam foto. Ada beberapa peserta yang tidak mendapatkan meja. Solusi yang mereka lakukan adalah mengambil kursi yang kosong untuk dijadikan meja. Tentu saja, posisi duduk mereka tidak lagi teratur dan rapi. Suasana seperti itu membuatku tersenyum di dalam hati. Hari itu, guru-guru bertindak persis seperti anak didik mereka. Aku sebagai pengawas tetap membiarkan tindakan mereka karena memang fasilitas gedung yang kurang menyediakan meja untuk tiap-tiap peserta. Setelah sesi mengerjakan soal, acara penutupan pun tiba. Aku lega sekaligus berdebar-debar. Aku lega karena acara yang sudah aku dan tim UKBI persiapkan berhasil dengan baik. Namun, aku berdebar-debar karena aku akan kembali melewati panjangnya perjalanan kembali ke Pontianak. Untung saja tim UKBI diberi kesempatan untuk ikut mobil kantor sehingga aku tidak harus menggunakan kendaraan umum. Aku sangat senang jika tidak harus menggunakan kendaraan umum. Biasanya kami akan banyak berhenti untuk beristirahat dan meluruskan kaki-kaki kami yang pegal jika kami ikut mobil kantor. Apalagi supir mobil kantor adalah teman kami sendiri.

Walaupun tidak nyaman dalam perjalanannya, kunjungan singkatku di Kota Sintang membuatku ingin kembali mengunjunginya lain waktu. Kota itu banyak mengembalikan kenanganku di kota lain. Selain kota Cirebon dan Purwokerto yang pernah aku sebutkan, kota Sintang juga mengingatkan aku akan kota hujan. Suasana yang sejuk dan kota yang ramai walaupun berada di tengah-tengah perbukitan, kota Sintang mirip sekali dengan kota Bogor. Kenangan itu menambah rasa rinduku akan pulau Jawa. Pengalaman seru baik dalam perjalanan ke kota Sintang maupun di kota itu sendiri, membangkitkan rasa keingintahuanku akan daerah-daerah lainnya di Kalimantan Barat atau lebih luas lagi di Pulau Kalimantan. Selain ingin membuktikan akan anggapan bahwa pulau Kalimantan itu banyak hutannya, aku juga ingin menemukan tempat-tempat yang mampu mengembalikan kenangan-kenanganku di tempat lain.

Perjalanan ke Sintang, 18-19 Maret 2009

Monday, April 6, 2009

On the Way to Soekarno-Hatta

“Ayo, Pah. Cepet, Pah!”

“Iya, Mah. Ini udah ngebut.”

Bapakku terus menancap gas dan selalu mencari celah untuk terus mendahului kendaraan lain. Kecepatan tinggipun tak segan-segan bapakku capai. Posisi jalur cepat selalu diambil walaupun sekali-kali mencari dimanapun ada celah kosong lainnya jika terjadi kemacetan di jalur cepat. “Tin..tin..tin,” klakson mobil berbunyi setiap bapak harus mendahului kendaraan lain dan itu seringkali terjadi sepanjang perjalanan. Mama yang duduk di sebelah bapak panik dan selalu berkomentar tentang semrawut kondisi jalan. Bapak yang sejak tadi fokus di belakang setir pun ikut tegang dan panik.

Siang itu, keluargaku sedang mengantarku ke bandara Soekarno-Hatta. Aku harus kembali ke Pontianak tanggal 28 Februari. Aku tidak bisa mengulur waktu pulkamku karena tanggal 1 Maret harus kembali bekerja. Biasanya, cukup waktu dua jam untuk jarak tempuh sekitar 30 km dari daerah Ciputat ke bandara lewat jalur belakang yakni rute BSD (Bumi Serpong Damai) Tangerang. Selain bukan jalan utama yakni rute Ciputat-Bandara melalui Semanggi, jalur BSD biasanya jarang sekali macet. BSD termasuk jalan alternatif ke bandara Soekarno-Hatta dan termasuk jalur lingkar luar Jakarta bagian Barat. BSD termasuk dalam wilayah Kabupaten Tangerang yang berbatasan dengan wilayah Jakarta Barat. Di sepanjang jalan yang aku lewati, banyak sekali pabrik-pabrik dan perumahan rakyat elit. Memang benar, Tangerang terkenal dengan BSD-nya karena merupakan perumahan rakyat elit yang terbesar di Tangerang. Perumahan di wilayah lain yang sekelas BSD seperti Pantai Indah Kapuk, Pondok Indah, Bintaro dan Kelapa Gading merupakan perumahan elit yang menyediakan beragam fasilitas kehidupan. Bagaikan mendirikan sebuah negara di dalam sebuah negara. Masyarakat yang tinggal di perumahan-perumahan tersebut merasa bangga jika disebut sebagai warga BSD, Pondok Indah atau Kelapa Gading. Rasa bangga itupun menular kepada masyarakat yang tinggal di sekitar perumahan-perumahan tersebut. Sampai ada satu singkatan yang menurut saya lucu sampai sekarang. Paman saya yang tinggal di sekitar Jurangmangu misalnya akan menyebutkan BSD jika ia ditanya dimana ia tinggal. Bukan Bumi Serpong Damai melainkan “Bintaro Sonoan Dikit.”

Entah mengapa hari itu lebih dari sepuluh titik kemacetan yang terhitung dari Ciputat sampai tempat tujuan. Waktu dua jam sungguh-sungguh tidak cukup. Kami sekeluarga seperti dikejar badai, diburu waktu dan diterjang kepanikan.

“Aduh, pake macet lagi. Tuh mobil ngapain sih. Pelan banget,” Mamaku benar-benar panik.

“Mamah berisik banget sih. Udah mamah diem ajah.”

“Kenapa si, Pah. Mamah ngomong kok gak boleh?”

“Bukan gak boleh. Papah kan udah usaha. Mamah bikin Papah panik ajah. Dah mamah gak usah beli rambutan ajah.”

“Loh kok jadi ngomongin rambutan. Emang siapa yang bilang jadi beli rambutan. Kan, udah Mamah bilang di rumah tadi, kalo sempet beli kalo ga ya udah.”

“Bapak kira Mamah tetep mo maksain beli rambutan.”

“Udah diem.”

Tidak lama, rombongan kendaraan di depan kami berjalan perlahan.

“Aduh, di depan jalannya rusak lagi.”

“Kenapa Papah lewat sini?”

“Ya lewat sini kan langsung ke BSD, Mah. Terus gampang lewat belakang bandara. Justru ini jalan yang paling deket dan cepet.”

Ketegangan yang dirasakan orangtuaku semakin menambah urat keteganganku meninggi. Gelisah yang sejak kami berangkat dari rumah tadi bisa kutekan, kini semakin meninggi. Panas dingin mulai merasuki sekujur tubuhku. Kepalaku mulai terasa pusing. Disusul dengan rasa mual dari dalam perutku karena aku sudah menahan buang air kecil selama kurang lebih satu jam perjalanan. Rasa pusing di kepala dan mual di perutku membuat mukaku semakin pucat. Itu yang dikatakan adikku, Yani, ketika ia memperhatikanku. Ia duduk disebelahku. Di sebelahnya, Puji, adik iparku memegang anaknya, Ezra yang sedang sibuk meloncat-loncat di atas pangkuan ibunya. Ezra, keponakanku yang pertama, baru saja berulangtahun yang pertama pada tanggal 22 Januari lalu. Aku bersyukur karena kepulanganku kali ini bertepatan dengan peristiwa penting untuk keponakanku tersayang. Aku bisa menghadiri acara ulang tahunnya, mencium pipinya dan mengatakan, “Selamat ulang tahun, nangnung. Ini kado dari bude, sayang.” Tawa dan segala tingkah lucunya tidak membuatku bisa melupakan rasa tegang yang tetap merasuki tubuh dan otakku.

Setelah memasuki BSD hatiku mulai tenang karena kupikir akan tidak menemukan kemacetan lagi. Namun, tetap saja. Di dalam komplek besar itupun tetap macet dan macet.

“Sekarang jam berapa, Nit?”

“Udah jam 12, Pak.”

“Mudah-mudahan bisa ke kejar deh sampe jam 1. Jangan lupa doa, Nit.”

“Iya, Pak.”

Sambil menjawab pertanyaan Bapak, perasaanku semakin tegang. Ngantuk tapi tidak bisa tidur. Rasa pusingku makin menjadi. Entah sepucat apa mukaku waktu itu. Aku harus sampai di bandara jam satu untuk check-in. Pesawatku berangkat tepat jam 2. Namun, perjalanan yang masih harus aku tempuh sekitar 15 km lagi. Mungkin cukup waktu jika memang tidak ada macet lagi. Kenyataan berkata lain. Titik kemacetan terjadi terutama ketika kami melintasi lampu merah, pasar dan mal. Suasana kami yang tadinya penuh canda dan tawa berubah menjadi kesunyian dan ketegangan. Ezra pun ikut lelah dan tertidur di pangkuan ibunya.

“Lain kali jangan dipasin lah kalo mo ke bandara.”

“Papah sih. Pake kekeuh mo jalan jam 11.”

“Iya. Aku emang salah terus.”

“Udah, Pak..Mah. Tenang..tenang.” Padahal aku sendiri tidak tenang.

Akhirnya, kendaraan kami memasuki pintu gerbang bandara Soekarno-Hatta. Waktu hampir mencapai jam setengah 2. Dengan panik, bapakku langsung atur apa yang harus aku lakukan setibanya di terminal keberangkatan nanti.

“Nanti, kamu langsung ambil troli ya. Nanti, bapak turunin barang kamu. Semua turun trus Bapak parkirin mobil.”

“Papah, gak usah parkir mobil. Kita cuma sebentar ini turunnya.”

“Gak usah Mah. Semua gak usah turun. Bapak aja yang keluarin barang. Nita juga gak usah ambil troli. Nita langsung aja masuk bawa barangnya.”

“Nanti berat, Nit.”

“Gak apa-apa, Pak. Gak berat kok. Lagian repot pake troli, Pak. Biar cepet.”

Perdebatan pun berakhir dengan keputusanku. Aku masuk dengan tergopoh-gopoh membawa barang dengan total sekitar 15 kg di tangan kanan dan kiriku. Di dalam terminal sepi. Semua penumpang sudah boarding. Aku termasuk dalam daftar penumpang yang sedang ditunggu. Rasa pusing dan mual sudah hilang karena keteganganku sudah mencapai anti klimaks. Sampai di ruang tunggu, ternyata aku disuruh bergabung dengan sekelompok penumpang yang sedang menunggu bis penjemput yang akan mengantar kami ke lokasi pesawat. Agak tenang, ternyata tidak cuma aku yang terlambat. Kira-kira ada 10 orang. Phew…aku menyeka keringatku. Aku belum ketinggalan pesawatku. Sampai di dalam pesawat, aku langsung mencari kursiku dan tidak berani menatap wajah-wajah penumpang lain yang mungkin kesal karena sudah menunggu kami begitu lama. Setelah menemukan tempat dudukku dan menaruh barang di dalam bagasi, hal yang pertama aku harus lakukan adalah …TOILET!.....

28 Februari 2009

Friday, February 20, 2009

Pertigaan Purnama

Peristiwa itu berawal ketika aku sedang berada di pelataran belakang rumah kos, tempat tinggalku di Pontianak. Pak Soleh, pemilik rumah kos, mendesain pelataran belakang rumahnya yang luas untuk kebun, tempat jemuran dan tempat cuci piring khusus untuk anak-anak kosnya. Menurut beliau, tujuan membangun eksterior rumah seperti itu agar dapat digunakan anak-anak kos untuk bercengkrama sambil mengerjakan aktivitasnya masing-masing di tempat itu. Selain menyediakan kamar kos untuk perempuan, Pak Soleh juga menyediakan kamar kos untuk laki-laki dengan lantai yang terpisah. Lantai satu berisi kamar-kamar untuk perempuan dan lantai dua untuk laki-laki. Di Pontianak, banyak sekali bentuk kos-kosan yang campur seperti ini. Namun, tidak sedikit pula yang menyediakan kamar kos khusus perempuan atau laki-laki. Seperti di kota-kota lainnya di Indonesia, penghuni-penghuni kamar kos berasal dari luar daerah sebagai mahasiswa atau pekerja seperti aku.

Suatu sore yang cerah, ketika aku sedang memilih pakaian yang sudah kering dan mengatur kembali pakaian yang belum kering agar bisa dijemur kembali besok pagi, seorang teman kos ku datang dan menyapaku.

“Hai, Kak. Angkat jemuran ke?”

“Iya. Lumayan hampir semua pakaianku kering. Ma, sore ini cerah. Enaknya ngapain yah?”

Temanku menjawab, “Kalau kamek biasanya jalan-jalan keliling Pontianak ramai-ramai, sama anak-anak kos yang lain, Kak.”

“Wah seru yah. Tapi aku nggak bisa pake motor.”

“Oh, tenang jak. Kakak bisa sama Irma.”

Lalu datang lagi kawan lainnya. Sambil membawa satu ember pakaian kotor dan satu botol bekas air mineral yang disulap menjadi tempat menyimpan detergen, Wandi ikut bicara.

“Memang Teteh mao jalan-jalan kah?”

Wandi yang berasal dari Cianjur, sudah lama tinggal di Pontianak dan menjadi penghuni kos yang paling lama, sepertinya memberikan tawaran.

“Ah, nggak lah. Aku nggak mo ngerepotin. Kalau kalian memang mao jalan-jalan, baru aku mao ikut.”

Tiba-tiba, dari dalam kos, temanku yang sama-sama dari Jakarta berteriak.

“Eh, pada mao jalan-jalan yeh? Gue ikut dong.”

Kami terdiam sejenak. Aku langsung menjawab.

“Nggak kok. Cuma ngobrol aja.”

Temanku itu, Egi namanya, tetap ingin jalan-jalan dengan memaksa Irma dan Wandi untuk mengantarnya.

“Eh, beneran nih. Gue mao ke Sungai Jawi. Kata temen kantor gue kalo mao cari barang-barang kelontongan di sana murah.”

“Mmh, gak tau yah. Irma jarang beli sih.”

“Ayo dong. Wandi, ayo anter gue. Gue butuh banget nih. Kan gue baru pindah jadi belom punya apa-apa.”

Wandi tidak begitu merespon positif rengekan Egi, “Waduh Teh, kalo saya mah gak bisa. Saya masuk malem. Ini aja mao rendam pakaian, mandi, terus berangkat kerja. Kapan-kapan aja ya Teh.”

Setelah itu, Wandi pun masuk kamar mandi.

Baik aku maupun Irma diam sejenak. Kami tidak tahu harus memulai pembicaraan kembali dari mana. Aku meneruskan memilih pakaian yang sudah kering. Keheningan sejenak itupun terpecah oleh panggilan Egi kepadaku.

“Nit, anterin gue yuk.”

Sontak aku kaget, “Hah, mao kesono pake apa, Ci. Sungai Jawi jauh, kan? Emang ada angkot yang kesono?”

“Katanya sih jauh. Tapi gak apa-apa deh. Kita pinjem motor bapak.”

“Emang lo bisa, Ci? Terus terang gue si gak bisa. Jadi gue cuma nemenin lo aja yeh.”

“Masak sih lo gak bisa?”

“Bisa sih tapi cuma di sekitar komplek aja. Kalo ke jalan besar, nggak deh. Gue takut.”

“Ah, gak apa-apa. Lo pasti bisa. Sekalian lo belajar. Gue si bisa tapi gue masih lemes banget nih. Gue kan abis sakit. Gimana, Nit? Temenin gue yeh.”

Jantungku mendadak dag dig dug berulang kali. Tapi, kata-kata Egi bener juga. Kalo gak belajar sekarang kapan lagi. Lagian, katanya Sungai Jawi itu lurus aja jalannya kalo dari arah jalan Sutoyo.

“Iya deh.”

“Asyik. Siap-siap yeh. Ntar gue deh yang bilang ke bapak.”

Kami pun berangkat mengendarai motor pinjaman dari bapak kos. Motor Yamaha keluaran tahun lama yang sudah tidak bagus lagi tampilannya tapi cukup bisa berjalan. Cuma suaranya saja yang nggak nahan. Berisik banget. Apalagi kalo mau belok, pasti bunyi alarmnya juga berisik.

Dari rumah, aku menjalankan motor itu dengan aman-aman saja. Saat belok keluar gang pun aku lakukan dengan mulus walaupun jantungku masih menari. Masuk jalan yang agak lebih besar dan melewati pertigaan pun masih bisa aku lakukan dengan mulus bin lancar. Aku mulai tenang dan sudah bisa berkendara sambil mengobrol plus ketawa-tawa dengan Egi.

Eng ing eng…jreng…nah loh. Saat motor keluar dari jalan Karya Baru menuju pertigaan Purnama, jantungku mulai bergerak lagi. Gerakannya seperti tepukan tari tari Saman, gerakan pelan berubah menjadi gerakan yang cepat sekali. Waduh, gimana nih. Semua pelajaran singkat yang diajari Irma sebelum berangkat tadi, tidak ada satupun yang diingat. Aku mulai panik. Waduh, gimana nih. Ah pede aja ah.

Pada saat itu kondisi jalanan memang sedang ramai. Dari arah jalan Purnama, rombongan mobil dan motor sedang menunggu datangnya rombongan kendaraan dari arah jalan Sumatera. Ada beberapa detik ketika jarak lumayan lebar di antara satu mobil dengan mobil lainnya terbuka di hadapanku. Kesempatan itulah yang aku gunakan untuk menerobos melewati kendaraan-kendaraan yang ada di kanan dan kiriku. Tanpa menoleh dan terus terfokus pada jarak kosong tadi, tanpa menginjak rem, aku terus tancap gas yang sejak dari rumah sampai ke pertigaan aku terus lakukan.

Walaupun takut, aku tetap percaya diri bahwa aku bisa melewati ruang kosong dan terus berjalan ke arah jalan Sumatera. Ternyata, perasaan itu membawa kesalahan besar. Aku kaget ketika setelah melewati sebuah mobil, ada rombongan motor yang maju kearahku. Spontan aku langsung injak rem. Ternyata posisi motorku tidak pas saat melewati mobil. Hasil dari dua kejadian itu, ban belakang motor menyenggol trotoar yang ada ditengah jalan. Motor pun jatuh ke arah kanan. Gerakan yang keras dan tiba-tiba membuat pedal rem bengkok dan kaca lampu depan pecah karena membentur trotoar tadi. Egi pun marah besar.

“Gimana sih, lo? Gue kira lo bakalan berenti dulu. Namanya pertigaan, kudu berenti dulu baru jalan kalo dah kosong. Untung lo gak terus ngegas. Kalo iya, gue bisa mental ke seberang. Bisa kelindes mobil. Mati deh gue.”

Sambil terus ngomel, aku mendorong sekuat tenaga motor yang nggak bisa jalan karena terganjal pedal yang bengkok. Aku hanya bisa terus menertawai kebodohanku dan berusaha menenangkan diri untuk bisa berfikir jernih.

“Maap, Ci. Tenang aja. Kita cari bengkel. Bentar, gue balikin dulu ni pedalnya. Nanti gue yang dorong deh. Gue deh yang bayar. Gue juga deh yang bilang ke bapak.”

“Ya udah! Bikin dia bisa jalan dulu! Bengkelnya jauh. Sini, gue aja yang bawa. Kaki gue sakit nih tapi terpaksa deh daripada gue celaka lagi.”

Akhirnya, kami meneruskan perjalanan. Egi terus cemberut sampai kami pulang. Waktu hampir menjelang magrib ketika kami sampai di rumah dengan selamat. Alhamdulillah.

Itulah pengalaman berharga yang harus aku ambil untuk bisa bertahan hidup di Kalimantan. Bayangan tentang Kalimantan, ketika aku masih di Jakarta, yang banyak hutan dan panas memang benar adanya. Saking luas dan hawa panas yang menyengat, setiap orang yang aku jumpai di jalan pasti sedang mengendarai kuda besinya. Dari anak usia Sekolah Dasar sampai orang usia lanjut, baik perempuan maupun laki-laki, semua mampu berkendara. Minimal motor atau sepeda harus dimiliki karena orang tak akan mampu dan sudi mandi keringat oleh sinar matahari dan jauhnya perjalanan. Lebih ekstrim lagi, “Kalo nda ada motor seperti nda punya kaki”, seperti yang aku kutip dari “pepatah” teman kantorku. Bahkan sering aku lihat, banyak wanita karir yang biasa mengenakan sepatu hak tinggi dan lancip mahir sekali mengendarai motor berkopling. Wah, hebat! Sungguh pemandangan yang tidak biasa aku lihat di tanah kelahiranku, Jakarta.

Saat peristiwa di pertigaan Purnama itu terjadi, aku baru sebulan tinggal di Pontianak. Aku belum punya banyak kawan sehingga, sebagai pendatang, hanya berjalan kaki yang bisa dan harus aku lakukan. Bukan hanya karena tidak punya motor, mengendarainya saja aku belum bisa. Maklum, fasilitas kendaraan yang dimiliki Jakarta telah bertahun-tahun membuaiku untuk tidak perlu belajar mengendarai motor. Peristiwa itu membuat trauma berkepanjangan bagi aku untuk belajar mengendarai motor lagi. Jika tidak diantar kawan, aku tetap berjalan kaki ke kantor sejauh lebih dari satu kilometer baik pergi maupun pulang. Aktivitas itu tetap aku jalani selama lebih dari dua tahun, yakni dari tahun 2006 sampai sekarang.